Senin, 30 Juni 2014

Selamat Ulang Tahun Medan, Lestarikan Gedung Bersejarahmu

Oleh: Nirwansyah Sukartara



1 Juli 2014. Usia Medan menjadi  424 tahun. Terlepas dari listrik yang selalu padam, pasar Suka Ramai yang tak pernah tertib. Reklame yang terus marak, Betor yang semakin sesuka udelnya di jalan raya, rampok yang terus merajalela dan preman parkir yang bergentayangan dimana-mana membuat karkater kota ini semakin terlihat kasar dan tak bersahabat. Meskipun begitu saya tetap salut dengan kota beridentitas Melayu Deli ini. Bagaimana tidak? Di tengah persoalan itu, Medan masih tetap eksis mempertahankan Adi Puranya. Entah bagaimana penilaiannya, hanya juri dan tuhanlah yang tahu.

Saya tidak akan membahas mendalam tentang Adi Pura, listrik padam dan berbagai persoalan lainnya yang masih menghantui tanah kelahiran saya ini. Berhubung usia Medan telah mencapai ratusan tahun, barangkali pemerintah kota Medan kita sedikit lupa untuk memelihara gedung-gedung tua yang masih berdiri kokoh di tengah kota Medan ini. Salah satunya gedung tua yang berada di Jalan Hindu. Gedung ini letaknya dibelakang gedung London Sumatera (Lonsum) yang ada di persimpangan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Balai Kota.

Dahulunya, gedung ini merupakan salah satu pusat perbelanjaan termewah di era 1916-an. Arsitekturnya sangat khas. Nilai historisnya juga melekat. Tidak heran kalau saat ini gedung yang memiliki luas 60 x 20 ha tersebut merupakan salah satu cagar budaya di Kota Medan. Ironisnya, saat ini gedung tersebut tak terawat dengan baik. Bahkan di perda cagar budaya kota Medan, gedung ini tak lagi masuk dalam salah satu gedung yang dilindungi.

 Jika dilihat secara keseluruhan, kondisinya sangat memprihatinkan. Di samping kanan dan kiri gedung, hanya terlihat cat putih yang diselimuti lumut dan jamur. Kaca jendelanya juga sudah tak lengkap. Begitu juga di bagian atas gedung, nyaris tak beratap.

Suasana hampir sama juga akan kita jumpai di dalam gedung. Secara keselurahan lantai papan yang berada di lantai dua bolong dan patah. Dinding-dinding terkupas, meskipun arsitektur khas Belanda-nya masih terlihat begitu mencolok. Pasca terbakar waktu lalu, lantai dua gedung ini sudah tak terpakai lagi.

Badan Warisan Sumatera (BWS), mencacat bahwa gedung yang didirikan 12 Februari 1916 ini memang merupakan salah satu gedung cagar budaya di kota Medan. Syarat-syarat untuk dikatakan sebagai cagar budaya telah dilengkapi dari gedung yang juga pernah menjadi kantor dari Dinas Tenaga Kerja Kota Medan.

BWS sendiri pernah merekomendasikan agar gedung tersebut masuk dalam perda cagar budaya di Kota Medan. Sayangnya, meskipun telah direkomendasikan, di Perda Nomor 6 Tahun 1988 tentang Pelestarian Bangunan Bersejarah dan Arsitektur Kepurbakalaan, gedung ini masih belum termasuk menjadi gedung yang dilindungi di Medan. Di Perda ini, hanya ada 40 bangunan bersejarah yang dilindungi. Padahal, BWS sendiri mencatat ada 600 gedung cagar budaya yang ada di kota Medan.

BWS pernah meminta agar gedung ini masuk dalam perda agar terlindungi. Tahun 1999, masukan ini dilayangkan BWS ke Pemko Medan. Harapannya agar pemko merevisi Perda Nomor 6 Tahun 1988. Hasilnya, perda cagar budaya ini direvisi tahun 2012 lalu. Sebagai penggantinya, lahirlah perda Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pelestarian Bangunan dan atau Lingkungan Cagar Budaya. Namun yang masih diherankan, perda ini direvisi, tetapi tidak melampirkan secara spesifik mengenai bangunan-bangunan yang dilindungi. Bahkan, jika di perda sebelumnya ada terlampir 40 bangunan yang dilindungi, di perda yang baru direvisi itu malah ke-40 bangunan tersebut sudah tak terlampir lagi. Nyaris tidak ada spesifikasi penyebutan mana saja gedung tua dan bersejarah yang dilindungi di kota tercinta ini. Benar-benar perda samar.

Harapan saya semoga gedung-gedung tua ini tak berubah bentuk menjadi supermarket, indomaret, alfamart ataupun coffee shop. Jikapun berubah, setidaknya arsitektur asli dari gedung-gedung itu masih tetap dipertahankan. Jika Jakarta bisa melestarikan Kota Tua-nya, Semarang melestarikan Kota Lama-nya dan Penang juga mengunggulkan kawasan George Town-nya untuk menarik wisatawan. Saya yakin Medan juga bisa seperti kota-kota tersebut. Gedung-gedung tua di Medan bisa menjadi magnit bagi wisatawan. Selamat ulang tahun Medan. Semoga engkau bisa melestarikan gedung bersejarahmu.

Jumat, 13 Juni 2014

Uka-uka di Bunaken

TERLEPAS dari taman lautnya yang menyimpan biota laut tertinggi di dunia, saya punya pengalaman menarik saat travelling ke Bunaken. Ceritanya begini, sewaktu sampai di Manado, saya dan tiga teman travelling dari Medan sudah memutuskan untuk tidak menginap di homestay, resort, bungalow atau sejenis penginapan lainnya yang ada di Bunaken. Keputusan ini diambil karena kami tak punya budget banyak untuk membayar biaya penginapan. Alhasil, kami memberdayakan teman yang menetap di Manado. Namanya Great Kaumbur. Ia asli orang Manado. Kebetulan Great juga suka traveling. Jadi, untuk penginapan selama di Bunaken, Great sudah memfasilitasi tenda kemping.

Ada dua tenda kemping yang difasilitasi. Satu tenda kemping yang bisa menampung lima orang, sementara satunya lagi tenda kemping yang bermuatan tiga orang. Tenda kemping yang berisi lima orang, rencananya untuk tidur para lelaki. Selain saya, Great juga mengajak dua sepupu laki-lakinya. Sementara tenda kemping yang bisa menampung tiga orang akan diisi tiga wanita yang merupakan teman traveling saya dari Medan. Berhubung rencana sudah oke. Segala persiapan juga sudah dimatangkan. Cuz, kami nyebrang dari Manado menuju Pulau Bunaken.

Dari Manado ke Bunaken hanya memerlukan waktu lebih kurang 45 menit. Luas Pulau Bunaken lebih kurang 8,08 km2. Setibanya di Bunaken, Great menyambangi rumah sepupu perempuannya. Namanya Nino. Rambutnya pendek, suka pakai kaos longgar dengan celana ponggol yang sobek-sobek. Di lehernya juga ada kalung putih yang biasa dipakai preman. Benar-benar gadis tomboi. Bisa dikatakan Nino ini premannya penduduk di Bunaken. Buktinya, sepanjang jalan menuju lokasi kemping, hampir semua penduduk menyapa dia layaknya preman. Kawan-kawan satu genk-nya juga takut sama dia. Padahal di genk itu dia sendiri cewek. Yang lainnya cowok-cowok gagah.


Dari rumah Nino ke lokasi kemping memakan waktu setengah jam dengan jalan kaki. Nino membawa kami ke lokasi kemping di depan pantai Bunaken yang masih dikelilingi hutan. Nama lokasi ini sering mereka sebut sebagai Pantai Pasir Panjang Bunaken. Dari lokasi kemping ini ke tempat wisata Bunakennya tidak jauh, hanya jalan kaki 20 menit sudah sampai ke lokasi yang biasanya ramai dipenuhi wisatawan saat ke Bunaken.


Meskipun tidak jauh dari lokasi wisatawan, tetap saja tempat kemping yang dipilih Nino itu menyeramkan. Malam hari tidak terlihat cahaya lampu. Toilet juga tidak ada. Mau jalan ke warung beli makanan juga jauh. Mau tidak mau, cuma bisa makan mie instan yang dibawa dari Manado. Untungnya, dibalik kondisi yang menyeramkan itu, tersimpan suasana kece yang tidak bisa kami dapatkan di tengah hiruk pikuk kota Medan. Kapan lagi coba bisa menikmati langit malam dengan jejeran bintang di atas pasir Bunaken. Tak hanya itu, suara hempasan ombak juga bersahut-sahutan untuk memberikan ketenangan hati sebelum terlelap tidur. Belum lagi ketika kita tidur, udang-udang kecil yang ada di pasir pantai lompat-lompat dengan bebas di atas kaki. Dan yang lebih dahsyatnya, melek mata di pagi hari, hmmmmm.. kolaborasi matahari pagi dan beningnya pantai Bunaken itu cuakeeeppp banget. Benar-benar pemandangan yang mahal. Setidaknya, berkat pemandangan ini, perjalanan panjang kami dari Medan-Surabaya, Surabaya-Pelabuhan Bitung selama empat hari tiga malam di KM Gunung Dempo tidak sia-sia. Semuanya terbayarkan ketika sampai di pulau bagian utara Sulawesi ini.

Tidak habis sampai disini, siang harinya kami habiskan waktu untuk snorkeling. Bunaken benar-benar memiliki taman laut yang dahsyat. Terumbu karangnya aduhai, ikannya warna-warni dengan berbagai jenis species. Sayangnya, saya tidak mengetahui jenis ikan apa saja yang saya lihat ketika snorkeling. Yang saya tau cuma lumba-lumba dengan asik lompat sana sini. Hahahahaha.


Usai bersenang-senang dengan pantai selama seharian, kami kembali ke lokasi kemping. Sebelum malam, beberapa teman anak Manado sempat memancing. Ikan yang di dapat jadi menu makan malam saat itu. Setelah melahapnya, kami menghabiskan waktu untuk bermain kartu. Beberapa ada juga yang bermain gitar sambil nyanyi lagu daerah yang berasal dari Manado. Malam itu Nino juga membawa empat teman laki-lakinya untuk bergabung. Mereka berpesta cap tikus.

Cap tikus ini jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen yang dihasilkan melalui penyulingan saguer atau cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho dalam bahasa Minahasa. Harganya sangat terjangkau. Kalau di Medan, tidak jauh seperti tuak. Belinya juga perliter dan tempatnya itu di botol air mineral yang sudah bekas. Berkat teman-temannya Nino, suasana kemping malam itu jadi ramai.

Di tengah keramaian dan gelapnya tempat kemping malam itu, Nino mencoba mengabadikan momen lewat kamera seluler-nya. Alhasil, terpotretlah satu tamu tak di undang. Bentuknya tidak utuh, hanya terlihat kepala dan gigi-nya yang samar-samar. Posisinya pas di atas kepala Elfa, salah satu teman travelling saya dari Medan. Elfa duduk bersebelahan dengan saya. Benar-benar buat bulu kuduk saya merinding. Seketika itu pula, saya jadi ingat film Kisah Misteri (Kismis) yang sempat tayang di salah satu stasiun TV swasta. Saat itu tagline film tersebut adalah “uka-uka”. Disebut uka-uka ketika seorang kameramen berhasil menangkap suatu “penampakan” yang katanya makhluk gaib.





               Dibelakang pria yang merokok itulah Uka-uka-nya. Cuma kepalanya aja. 

Nah, terkait dengan hasil jepretannya itu. Nino sempat cerita malam itu. Percaya tidak percaya, kata Nino, salah satu temannya baru meninggal dunia dua minggu lalu. Temannya itu meninggal karena kecelakaan sepeda motor yang lokasinya tidak jauh dari tempat kemping tersebut. Si Nino menganggap, mungkin saja temannya itu mau ikut gabung sama mereka yang lagi bersenang-senang. Karena sebelum meninggal dunia, mereka sering cap tikus-an bareng di Bunaken. Wuih seramnya. Bahkan ini lebih seram dari film Insidious dan The Conjuring. #lebay..


Sampai saat ini saya belum bisa percaya dengan tayangan tivi, cerita dan gambar hasil jepretan si Nino. Memang bukan untuk dipercayai sih, yang jelas pengalaman ini layak untuk saya ceritakan ketika menjelajahi tempat terindah di Indonesia. Makhluk gaib itu memang ada, tetapi bukan untuk ditakuti.


                              Lokasi kemping di Bunaken bareng Nino and the genk