Senin, 30 Juni 2014

Selamat Ulang Tahun Medan, Lestarikan Gedung Bersejarahmu

Oleh: Nirwansyah Sukartara



1 Juli 2014. Usia Medan menjadi  424 tahun. Terlepas dari listrik yang selalu padam, pasar Suka Ramai yang tak pernah tertib. Reklame yang terus marak, Betor yang semakin sesuka udelnya di jalan raya, rampok yang terus merajalela dan preman parkir yang bergentayangan dimana-mana membuat karkater kota ini semakin terlihat kasar dan tak bersahabat. Meskipun begitu saya tetap salut dengan kota beridentitas Melayu Deli ini. Bagaimana tidak? Di tengah persoalan itu, Medan masih tetap eksis mempertahankan Adi Puranya. Entah bagaimana penilaiannya, hanya juri dan tuhanlah yang tahu.

Saya tidak akan membahas mendalam tentang Adi Pura, listrik padam dan berbagai persoalan lainnya yang masih menghantui tanah kelahiran saya ini. Berhubung usia Medan telah mencapai ratusan tahun, barangkali pemerintah kota Medan kita sedikit lupa untuk memelihara gedung-gedung tua yang masih berdiri kokoh di tengah kota Medan ini. Salah satunya gedung tua yang berada di Jalan Hindu. Gedung ini letaknya dibelakang gedung London Sumatera (Lonsum) yang ada di persimpangan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Balai Kota.

Dahulunya, gedung ini merupakan salah satu pusat perbelanjaan termewah di era 1916-an. Arsitekturnya sangat khas. Nilai historisnya juga melekat. Tidak heran kalau saat ini gedung yang memiliki luas 60 x 20 ha tersebut merupakan salah satu cagar budaya di Kota Medan. Ironisnya, saat ini gedung tersebut tak terawat dengan baik. Bahkan di perda cagar budaya kota Medan, gedung ini tak lagi masuk dalam salah satu gedung yang dilindungi.

 Jika dilihat secara keseluruhan, kondisinya sangat memprihatinkan. Di samping kanan dan kiri gedung, hanya terlihat cat putih yang diselimuti lumut dan jamur. Kaca jendelanya juga sudah tak lengkap. Begitu juga di bagian atas gedung, nyaris tak beratap.

Suasana hampir sama juga akan kita jumpai di dalam gedung. Secara keselurahan lantai papan yang berada di lantai dua bolong dan patah. Dinding-dinding terkupas, meskipun arsitektur khas Belanda-nya masih terlihat begitu mencolok. Pasca terbakar waktu lalu, lantai dua gedung ini sudah tak terpakai lagi.

Badan Warisan Sumatera (BWS), mencacat bahwa gedung yang didirikan 12 Februari 1916 ini memang merupakan salah satu gedung cagar budaya di kota Medan. Syarat-syarat untuk dikatakan sebagai cagar budaya telah dilengkapi dari gedung yang juga pernah menjadi kantor dari Dinas Tenaga Kerja Kota Medan.

BWS sendiri pernah merekomendasikan agar gedung tersebut masuk dalam perda cagar budaya di Kota Medan. Sayangnya, meskipun telah direkomendasikan, di Perda Nomor 6 Tahun 1988 tentang Pelestarian Bangunan Bersejarah dan Arsitektur Kepurbakalaan, gedung ini masih belum termasuk menjadi gedung yang dilindungi di Medan. Di Perda ini, hanya ada 40 bangunan bersejarah yang dilindungi. Padahal, BWS sendiri mencatat ada 600 gedung cagar budaya yang ada di kota Medan.

BWS pernah meminta agar gedung ini masuk dalam perda agar terlindungi. Tahun 1999, masukan ini dilayangkan BWS ke Pemko Medan. Harapannya agar pemko merevisi Perda Nomor 6 Tahun 1988. Hasilnya, perda cagar budaya ini direvisi tahun 2012 lalu. Sebagai penggantinya, lahirlah perda Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pelestarian Bangunan dan atau Lingkungan Cagar Budaya. Namun yang masih diherankan, perda ini direvisi, tetapi tidak melampirkan secara spesifik mengenai bangunan-bangunan yang dilindungi. Bahkan, jika di perda sebelumnya ada terlampir 40 bangunan yang dilindungi, di perda yang baru direvisi itu malah ke-40 bangunan tersebut sudah tak terlampir lagi. Nyaris tidak ada spesifikasi penyebutan mana saja gedung tua dan bersejarah yang dilindungi di kota tercinta ini. Benar-benar perda samar.

Harapan saya semoga gedung-gedung tua ini tak berubah bentuk menjadi supermarket, indomaret, alfamart ataupun coffee shop. Jikapun berubah, setidaknya arsitektur asli dari gedung-gedung itu masih tetap dipertahankan. Jika Jakarta bisa melestarikan Kota Tua-nya, Semarang melestarikan Kota Lama-nya dan Penang juga mengunggulkan kawasan George Town-nya untuk menarik wisatawan. Saya yakin Medan juga bisa seperti kota-kota tersebut. Gedung-gedung tua di Medan bisa menjadi magnit bagi wisatawan. Selamat ulang tahun Medan. Semoga engkau bisa melestarikan gedung bersejarahmu.

Jumat, 13 Juni 2014

Uka-uka di Bunaken

TERLEPAS dari taman lautnya yang menyimpan biota laut tertinggi di dunia, saya punya pengalaman menarik saat travelling ke Bunaken. Ceritanya begini, sewaktu sampai di Manado, saya dan tiga teman travelling dari Medan sudah memutuskan untuk tidak menginap di homestay, resort, bungalow atau sejenis penginapan lainnya yang ada di Bunaken. Keputusan ini diambil karena kami tak punya budget banyak untuk membayar biaya penginapan. Alhasil, kami memberdayakan teman yang menetap di Manado. Namanya Great Kaumbur. Ia asli orang Manado. Kebetulan Great juga suka traveling. Jadi, untuk penginapan selama di Bunaken, Great sudah memfasilitasi tenda kemping.

Ada dua tenda kemping yang difasilitasi. Satu tenda kemping yang bisa menampung lima orang, sementara satunya lagi tenda kemping yang bermuatan tiga orang. Tenda kemping yang berisi lima orang, rencananya untuk tidur para lelaki. Selain saya, Great juga mengajak dua sepupu laki-lakinya. Sementara tenda kemping yang bisa menampung tiga orang akan diisi tiga wanita yang merupakan teman traveling saya dari Medan. Berhubung rencana sudah oke. Segala persiapan juga sudah dimatangkan. Cuz, kami nyebrang dari Manado menuju Pulau Bunaken.

Dari Manado ke Bunaken hanya memerlukan waktu lebih kurang 45 menit. Luas Pulau Bunaken lebih kurang 8,08 km2. Setibanya di Bunaken, Great menyambangi rumah sepupu perempuannya. Namanya Nino. Rambutnya pendek, suka pakai kaos longgar dengan celana ponggol yang sobek-sobek. Di lehernya juga ada kalung putih yang biasa dipakai preman. Benar-benar gadis tomboi. Bisa dikatakan Nino ini premannya penduduk di Bunaken. Buktinya, sepanjang jalan menuju lokasi kemping, hampir semua penduduk menyapa dia layaknya preman. Kawan-kawan satu genk-nya juga takut sama dia. Padahal di genk itu dia sendiri cewek. Yang lainnya cowok-cowok gagah.


Dari rumah Nino ke lokasi kemping memakan waktu setengah jam dengan jalan kaki. Nino membawa kami ke lokasi kemping di depan pantai Bunaken yang masih dikelilingi hutan. Nama lokasi ini sering mereka sebut sebagai Pantai Pasir Panjang Bunaken. Dari lokasi kemping ini ke tempat wisata Bunakennya tidak jauh, hanya jalan kaki 20 menit sudah sampai ke lokasi yang biasanya ramai dipenuhi wisatawan saat ke Bunaken.


Meskipun tidak jauh dari lokasi wisatawan, tetap saja tempat kemping yang dipilih Nino itu menyeramkan. Malam hari tidak terlihat cahaya lampu. Toilet juga tidak ada. Mau jalan ke warung beli makanan juga jauh. Mau tidak mau, cuma bisa makan mie instan yang dibawa dari Manado. Untungnya, dibalik kondisi yang menyeramkan itu, tersimpan suasana kece yang tidak bisa kami dapatkan di tengah hiruk pikuk kota Medan. Kapan lagi coba bisa menikmati langit malam dengan jejeran bintang di atas pasir Bunaken. Tak hanya itu, suara hempasan ombak juga bersahut-sahutan untuk memberikan ketenangan hati sebelum terlelap tidur. Belum lagi ketika kita tidur, udang-udang kecil yang ada di pasir pantai lompat-lompat dengan bebas di atas kaki. Dan yang lebih dahsyatnya, melek mata di pagi hari, hmmmmm.. kolaborasi matahari pagi dan beningnya pantai Bunaken itu cuakeeeppp banget. Benar-benar pemandangan yang mahal. Setidaknya, berkat pemandangan ini, perjalanan panjang kami dari Medan-Surabaya, Surabaya-Pelabuhan Bitung selama empat hari tiga malam di KM Gunung Dempo tidak sia-sia. Semuanya terbayarkan ketika sampai di pulau bagian utara Sulawesi ini.

Tidak habis sampai disini, siang harinya kami habiskan waktu untuk snorkeling. Bunaken benar-benar memiliki taman laut yang dahsyat. Terumbu karangnya aduhai, ikannya warna-warni dengan berbagai jenis species. Sayangnya, saya tidak mengetahui jenis ikan apa saja yang saya lihat ketika snorkeling. Yang saya tau cuma lumba-lumba dengan asik lompat sana sini. Hahahahaha.


Usai bersenang-senang dengan pantai selama seharian, kami kembali ke lokasi kemping. Sebelum malam, beberapa teman anak Manado sempat memancing. Ikan yang di dapat jadi menu makan malam saat itu. Setelah melahapnya, kami menghabiskan waktu untuk bermain kartu. Beberapa ada juga yang bermain gitar sambil nyanyi lagu daerah yang berasal dari Manado. Malam itu Nino juga membawa empat teman laki-lakinya untuk bergabung. Mereka berpesta cap tikus.

Cap tikus ini jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen yang dihasilkan melalui penyulingan saguer atau cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho dalam bahasa Minahasa. Harganya sangat terjangkau. Kalau di Medan, tidak jauh seperti tuak. Belinya juga perliter dan tempatnya itu di botol air mineral yang sudah bekas. Berkat teman-temannya Nino, suasana kemping malam itu jadi ramai.

Di tengah keramaian dan gelapnya tempat kemping malam itu, Nino mencoba mengabadikan momen lewat kamera seluler-nya. Alhasil, terpotretlah satu tamu tak di undang. Bentuknya tidak utuh, hanya terlihat kepala dan gigi-nya yang samar-samar. Posisinya pas di atas kepala Elfa, salah satu teman travelling saya dari Medan. Elfa duduk bersebelahan dengan saya. Benar-benar buat bulu kuduk saya merinding. Seketika itu pula, saya jadi ingat film Kisah Misteri (Kismis) yang sempat tayang di salah satu stasiun TV swasta. Saat itu tagline film tersebut adalah “uka-uka”. Disebut uka-uka ketika seorang kameramen berhasil menangkap suatu “penampakan” yang katanya makhluk gaib.





               Dibelakang pria yang merokok itulah Uka-uka-nya. Cuma kepalanya aja. 

Nah, terkait dengan hasil jepretannya itu. Nino sempat cerita malam itu. Percaya tidak percaya, kata Nino, salah satu temannya baru meninggal dunia dua minggu lalu. Temannya itu meninggal karena kecelakaan sepeda motor yang lokasinya tidak jauh dari tempat kemping tersebut. Si Nino menganggap, mungkin saja temannya itu mau ikut gabung sama mereka yang lagi bersenang-senang. Karena sebelum meninggal dunia, mereka sering cap tikus-an bareng di Bunaken. Wuih seramnya. Bahkan ini lebih seram dari film Insidious dan The Conjuring. #lebay..


Sampai saat ini saya belum bisa percaya dengan tayangan tivi, cerita dan gambar hasil jepretan si Nino. Memang bukan untuk dipercayai sih, yang jelas pengalaman ini layak untuk saya ceritakan ketika menjelajahi tempat terindah di Indonesia. Makhluk gaib itu memang ada, tetapi bukan untuk ditakuti.


                              Lokasi kemping di Bunaken bareng Nino and the genk






Senin, 23 Desember 2013

Kota Perdagangan yang Mendunia

INI kali pertama saya menginjakan kaki di Kota Balige. Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di Sumatera Utara (Sumut) sebenarnya saya merasa malu karena baru kali ini bisa menginjakkan kaki di daerah yang dikenal dengan kota perdagangan ini.

Kedatangan saya ke Balige dalam kegiatan Parhitean Fun Rafting Tournament 2013 yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) yang bekerjasama dengan Majalah Sumatera and Beyond.

Sebenarnya kegiatan ini dilakukan di Sungai Parhitean, Tobasa pada Minggu (15/12). Namun, sehari sebelum kegiatan dilakukan, Sabtu (14/12), saya dan para peserta fun rafting sempat diajak mengelilingi Kota Balige.

Usai makan siang di Toba Art milik Bastian Hutabarat, lewat angkutan umum khas Balige, kami dipandu Bastian untuk mengunjungi gereja tertua di Kota Balige. Gereja ini dikenal dengan Gereja Huria Kristen Batak Prostestan (HKBP) Balige. Letaknya tak cukup jauh dari pasar Balige. Menurut Bastian, gereja ini sangat bersejarah. Tak heran jika Agustus lalu, gereja ini juga menjadi tempat pemberkatan pasangan selebriti Judika dan Duma Riris.

“Umur gereja ini sudah mencapai 131 tahun. Gereja ini dimulai oleh lembaga penginjilan dari Jerman lewat misionari, Nommensen. Salah seorang pendeta yang pertama sekali menyebarkan agama Kristen di Toba Samosir,” ucap Bastian kepada rombongan.

Benar-benar hebat, sambung Bastian dengan tegas. Beliau benar-benar memikirkan kenapa gereja ini didirikan disini. Di samping gereja ini terdapat Akademi Keperawatan HKBP Balige yang sangat bagus. The Deaconess, Susanne Maedrich. Akademi ini juga satu paket dengan asrama pendidikan yang sangat bersih. Mereka sangat perduli sekali menjaga kelestarian lingkungan. Nyaris tidak ada sampah di asrama ini.

Di bagian depan gereja terdapat Rumah Sakit Umum HKBP Balige, serta bagian belakang gereja terdapat sekolah plus HKBP Balige. Selain bangunan gerejanya yang unik, hal ini jugalah yang menambah keunikan dari Balige itu sendiri. Balige bukan hanya dijadikan sebagai kota perdagangan, melainkan juga dijadikan sebagai kota pendidikan. Banyak pendidikan bagus yang ada di Balige ini.

                                                                       Betor Balige


Kota Perdagangan

Kenapa dikatakan sebagai kota perdagangan?. Jawabannya, karena bank pertama yang lahir di daerah Tapanuli, Sumatera Utara ini terdapat di Balige. Nama bank tersebut Batakse Credit en Handelsbank Capital. Bank ini dibangun pada tahun 1938 oleh enam komisaris. Ke-enamnya adalah Toke Maroedin Sibarani, Toke Kilian Hutabarat, Soetan Manahan Laoet, Toke Baginda Pemimpin Siahaan, Toke Dja Cijrus Pasariboe, dan Toke Marinus Simanjuntak.

“Kebetulan kakek saya, Kilian Hutabarat masuk di dalamnya. Saya mengetahui ini dari koran Bendera Kita Sabtoe yang terbit 6 Agustus 1938,” ujar Bastian.



Kala itu total saham untuk mendirikan bank tersebut 50.000 gulden. Inilah yang menjadi alasan kenapa Balige bisa disebut dengan kota perdagangan. Sampai sekarang perdagangan di Balige juga masih lancar.

Ini terbukti, walaupun sudah ditetapkannya Tarutung sebagai Ibukota Tapanuli Utara, tetapi perbankan masih banyak berdiri di Kota Balige. Bukan hanya perbankan, Balige juga menjadi pusat pasar bagi daerah sekitarnya.

                 
                                  Surat Kabar Bendera Kita yang Kala Itu Memuat Beritanya


Selain Ulos, salah satu hasil kerajinan tangan dari masyarakat Balige yang terkenal adalah Mandar Balige. Beruntung, usai mengunjungi Gereja HKBP Balige, kami di antar ke tempat pembuatan Mandar Balige milik Yusni Sinurat. Mandar itu artinya kain tenun atau sarung. Jadi, Mandar Balige ini adalah salah satu kain tenun hasil kerajinan tangan masyarakat Balige.

Biasanya, kain ini memiliki multi fungsi. Kadang dipergunakan warga sebagai kain bedong (pembungkus bayi), sarung untuk shalat, bahkan saat ini juga digunakan warga sebagai taplak meja, gorden pintu maupun jendela, hingga pada sarung bantal. “Mesin-mesin disini juga sudah cukup tua. Ini hasil kerajinan sejak dahulu. Dan produksi Mandar Balige ini juga menjadi salah satu kenapa Balige disebut sebagai kota perdagangan,” jelas Bastian.


                                                                   Mandar Balige


Sementara kaitannya dengan kota pendidikan terlihat dari istilah Is Balige The Next Bangalore. Istilah ini dipopulerkan oleh Sabar Situmorang. Salah seorang alumni Seni Rupa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga merupakan masyarakat Balige. Sabar mengistilahkan kata itu karena ia menganggap bahwa pendidikan di Balige tidak jauh berbeda dengan pendidikan yang ada di Bangalore.

Sebuah kota yang terkenal sebagai ibukota teknologi informasi di India. Ia juga berani mengatakan ini, terlebih dibuatnya museum batak, TB Silalahi Center yang diresmikan pada tahun 2011. Ini salah satu bukti bahwa pendidikan di Balige juga berkwalitas, dan membuat kota ini juga bisa disebut sebagai kota pendidikan.

“Sabar Situmorang itu juga seorang pengusaha. Ia masih sering datang ke Balige. Bahkan sesekali, dia juga mengajar di Institut Teknologi Del,” jelasnya.

Institut Teknologi Del, satu-satunya institut berkelas internasional yang ada di Balige. Institut ini diresmikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun yang lalu.

Uniknya institut ini langsung berhadapan dengan panorama alam Danau Toba. Satu-satunya danau terbesar di Indonesia.Danau yang menjadi daya tarik dari Kabupaten Toba Samosir bahkan Sumatera Utara. Hadirnya institut ini lagi semakin menguatkan Balige sebagai kota pendidikan. Benar-benar kota yang akan mendunia.

Institut Teknologi Del menjadi tempat terakhir dari kunjungan kami di hari pertama ketika sampai di Balige. Sebelumnya kami juga sempat melewati museum batak, TB Silalahi Center. Usai kunjungan ini, kami menginap di Sere Nauli Hotel yang terletak di daerah Laguboti. Disini kami menanti sambutan makan malam dari Bupati Tobasa yang diwakili Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Tobasa, Ultri Sonlahir Simangunsong.

Saat jamuan makan malam, ia sempat mengatakan akan seoptimal mungkin memperkenalkan Balige ke mancanegara. Terlebih pada tahun depan (2014), Balige, Kabupaten Tobasa ditunjuk sebagai tuan rumah dalam pagelaran event pariwisata terbesar di Sumut yakni Festival Danau Toba (2014).

“Semaksimal mungkin kita akan memperkenalkan budaya dan tempat-tempat wisata di Balige,” katanya. Balige bukan hanya dikenal dengan panorama alam Danau Tobanya saja, tetapi banyak hal lain yang perlu digali dari Balige.

Sepuluh kegiatan yang akan digelar pada FDT tahun depan adalah Solu Bolon, Paralayang, Marlange (renang), Arung Jeram (rafting) di Parhitean, Lake Toba’s World Drum Festival yang terdiri dari pertunjukan budaya baik itu upacara tradisi, upacara pembuka (panangkok oging), sulang-sulang pasangap natua-tua, mangalahat horbo, upacara penutup glitering (panggokhon ulaon nauli), permainan (perlombaan tradisi karnaval Sigale-gale dan ulos), serta lomba menyanyi, fashion show, seminar pariwisata dan pameran pariwisata dan ekonomi kreatif.

“Kita berharap sekali kegiatan ini tidak ngaret. Butuh ketegasan pemerintah pusat juga agar menjadi event tahunan yang bulan dan tanggalnya bisa konsisten. Terlebih kita juga telah memiliki bandara Silangit untuk mewujudkan ini semua,” harapnya.

Memacu Adrenalin di Parhitean

Banyak yang mengatakan bahwa sungai ini sangat layak dijadikan sebagai lokasi arung jeram berkelas Internasional. Arus yang deras, medan yang berbahaya serta jeram-jeram ekstrim yang dimilikinya menjadikan sungai ini sebagai tempat arung jeram terbaik ke dua di dunia.

Usai melahap makan siang dengan menu daun ubi tumbuk dan sambel terasi, Minggu (15/12) sekira pukul 12.00 WIB, para peserta Parhitean Fun Rafting Tournament 2013 langsung bergegas berangkat dari Parhitean menuju Bedeng Asahan yang dipakai sebagai lokasi fun rafting kali ini. Jarak dari Parhitean, Kabupaten Tobasa menuju Bedeng Asahan, Kabupaten Asahan sekitar 18 kilometer. Dengan truk yang telah disiapkan panitia, 36 peserta fun rafting yang terdiri dari pimpinan travel agent, hotelier, industri penerbangan, media massa, corporate, serta operator rafting dengan segera berangkat menuju lokasi fun rafting.

Di Bedeng Asahan, dua perahu jeram sudah disiapkan. Para peserta masih harus menunggu empat perahu jeram yang sedang dipersiapkan para rangers. Hitungan puluhan menit, akhirnya enam perahu ini sudah standby di tepi sungai daerah Bedeng Asahan yang menjadi garis start dari kompetisi ini.

                                                     Tos dulu sebelum bertanding

Sebelum melakukan kompetisi rafting, para peserta lebih dulu dibekali pengarahan oleh instruktur rafting. Pengarahan ini terkait dengan penyelamatan diri ketika kecelakaan terjadi. Misal ketika perahu jeram terbalik ataupun ketika dihempas derasnya arus sungai. Semuanya dilakukan agar para peserta yang mengarungi Sungai Asahan nantinya bisa selamat hingga garis finish.

Setelah pengarahan, waktu yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Para peserta yang sudah dibagi dalam enam tim dengan masing-masing tim enam orang sudah siap menunggu aba-aba dari pantia untuk memulai kompetisi ini. Hitungan tiga, dua, satu yang disertai dengan pelepasan Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tobasa, memulai awal dari arungan mereka. Teriakan-teriakan semangat dari permulaan kompetisi sangat terasa. Masing-masing perahu jeram milik kelompok lain saling menyalip perahu jeram kelompok lainnya. Ini semua untuk memperebutkan Dinar (koin emas) 22 karat dan Dirham (koin perak).

Tak berapa lama mengarung, para peserta mulai merasakan sensasi dari jeram pertama di Sungai Asahan yang berdekatan dengan Sungai Parhitean ini. Derasnya air menjadi tantangan bagi peserta untuk bisa melakukan arung jeram secara baik. Terlihat, semua tim mampu menakhlukan jeram pertama pada kompetisi ini.

Jeram kedua lebih menantang, tim harus ekstra lebih kompak agar perahu jeram tidak terbalik. Disini, adrenalin benar-benar terpacu. Mengarungi derasnya air serta jeram yang ekstrim membuat degup jantung terasa semakin cepat. Wajar jika perahu jeram kami sedikit oleng. Tak hanya perahu, orang-orang yang berada di tim kami juga sedikit oleng karena derasnya debit air pada jeram kali ini.

“Jeram disini masih hitungan grade 1 dan 2. Grade yang memang biasa digunakan untuk pemula yang melakukan arung jeram. Jadi jeramnya masih belum berapa ekstrim jika dibandingkan jeram yang memiliki grade 4 bahkan grade 5+,” ucap Jaya, rangers yang berada di tim kami. Tim dengan nama sebutan Mie Gomak.

Jeram dengan grade 4 atau 5+ ini merupakan jeram untuk orang-orang yang sudah profesional. Biasanya untuk para atlit jeram yang sudah lincah dalam mengendalikan perahu, serta memiliki pengalaman lebih dalam berarung jeram. Jeram dengan grade 4 atau 5+ ini bisa dinikmati di aliran Sungai Parhitean yang berada di daerah Parhitean, Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara.

Menurut orang-orang dan searching di google, katanya jeram di Parhitean ini merupakan jeram terbaik kedua dunia setelah jeram yang ada di Sungai Zambesi, Afrika. Atau setidaknya setara dengan jeram yang berada di Sungai Colorado, Amerika Serikat.

Yang disayangkan, orang lebih mengenal daerah ini dengan Sungai Asahan. “Sebenarnya itu daerah Parhitean. Masih masuk dalam Kabupaten Tobasa. Karena berbatasan langsung dengan Kabupaten Asahan, makanya sungai tersebut lebih dikenal oleh masyarakat dan wisatawan mancanegara dengan Sungai Asahan yang memang merupakan sungai besar yang ada di Sumut. Sebagai pemerintah Tobasa kita ingin memperkenalkan daerah itu dengan nama Parhitean,” ucap Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Tobasa, Ultri Sonlahir Simangunsong.

Beberapa tahun yang lalu, lokasi Sungai Parhitean ini juga pernah menjadi lokasi dalam kompetisi rafting tingkat Internasional. Tak heran, jika wisatawan mancanegara sudah banyak yang kenal dengan tempat ini. Sebelum memulai fun rafting, beberapa orang relawan dari kegiatan Parhitean Fun Rafting juga sempat mencicipi jeram dengan grade 4 dan 5+ ini. Mereka melakukan start di dekat jembatan Jeram Rizal Nurdin dan finsh di daerah Jeram Simatupang. Waktu yang ditempuh hanya sepuluh menit.

Sayang, saya bukan bagian dari relawan yang mencicipi jeram grade 4 dan 5+ itu. Jadi tidak bisa mengekspresikannya lewat kata-kata. Yang pasti, ketika menjadi penonton, saya hanya bisa “mengangak” melihat ekspedisi yang mereka lakukan di jeram tersebut.


                              Jeram dengan grade 4 dan 5 di Sungai Parhitean. Berani coba?




Meskipun begitu, saya tetap beruntung bisa merasakan jeram-jeram pada grade 1 dan 2. Walaupun tak se-ekstrim jeram di Parhitean, melakukan arung jeram dari Bedeng Asahan ke Bandar Pulau Asahan juga tidak kalah menarik. Sepanjang mendayung perahu jeram, kami bisa menyaksikan panorama bukit-bukit yang berlereng dengan tanaman pohon sawit dan pohon nira. Bahkan kami juga bisa menikmati pemandangan air terjun yang mengiringi perjalanan kami. Aktivitas beberapa masyarakat seperti memancing dan lainnya juga terlihat pada arus sungai yang tenang. Hingga akhirnya kami harus sampai pada garis finsih di Jembatan Bandar Pulau Asahan.

Meskipun tim kami tidak menjadi tim juara pada kompetisi ini. Tetapi rasa senang itu tetap ada. Rasa degupan jantung yang begitu kencang tadi masih terasa. Canda tawa tim saat perjalanan juga menjadi hiburan pada Parhitean Fun Rafting Tournament kali ini. Berharap, agar kegiatan ini tetap terlaksana pada tahun-tahun selanjutnya. Terimakasih untuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tobasa yang bekerjasama dengan Majalah Sumatera and Beyond.

Terakhir, untuk kalian para pencinta olahraga rafting, bisa mencoba jeram-jeram yang ada di Parhitean ataupun Sungai Asahan ini. Ada dua tawaran yang menarik. Kalian bisa rafting dengan grade yang cukup ekstrem di Sungai Parhitean, dan kalian (para pemula) juga bisa menikmati arum jeram pada grade yang tidak berbahaya. Jalan menuju lokasi rafting ini bisa dilalui kendaraan bus.

Meskipun cukup sempit dan diapit dengan tebing-tebing terjal dan berliku-liku, tetapi jalan menuju lokasi ini sudah beraspal mulus kok. Walaupun sebagiannya masih banyak yang berlubang. Untuk penginapan sendiri, banyak home stay yang disediakan warga ataupun pemerintah Tobasa di sekitaran Parhitean. J adi jangan takut tidak memiliki tempat penginapan.

Selamat mencoba dan menikmati rafting di sungai ini. ***


 ***
Berhubung tulisan ini untuk halaman Pariwisata Harian Analisa. Jadi dibuat agak beda. Makanya bahasa yang digunakan sok serius....

 


Rabu, 04 Desember 2013

KM Gunung Dempo Part I (Berebut Tempat Tidur)


Ini perjalanan saya Agustus 2011 lalu. Bisa dikatakan ini perjalanan baru bagi saya sebagai backpacker    pemula untuk menjelajahi setiap sudut kota di dunia. 

Sebagai backpacker pemula, paling malas melakukan traveling itu sendirian. Alasannya saya yakin kalian semua sudah pada tahu. Takut  nyasar dan budget yang mahal. Beruntunglah saya punya kurcaci-kurcaci yang memiliki aliran sepaham dengan saya. Sebut saja mereka Karla, Maria, dan Beta Harahap *nama samaran*. Berkat merekalah traveling ini bisa direalisasikan.

Untuk backpacker pemula, target kami gak muluk-muluk. Setidaknya bisa Snorkeling di Bunaken yang katanya menyimpan ekosistem biota laut tertinggi di dunia. Bukan hanya itu, Bunaken juga dijuluki sebagai surganya taman laut dunia. Inilah yang menjadi alasan kenapa Bunkaen menjadi destination traveling kami.
Perjalanan menuju Bunaken cukup panjang. Dari Medan, kami harus terbang ke Surabaya. Dari Surabaya harus mengembara selama empat hari tiga malam di KM Gunung Dempo. Disinilah  proses berkelana backpacker itu dimulai. Empat hari tiga malam harus rela gak melihat tanah.

Sebelum memutuskan naik KM Gunung Dempo, kami sempat berencana terbang ke Manado lewat jalur udara layaknya backpacker mewah. Tapi apa boleh baut, ibarat kata peribahasa niat hati memeluk gunung, tapi apalah daya kena pentilnya. Tak dapat jalur darat, jalur laut-pun jadi. Setelah diskusi sana-sini, akhirnya Dempo-lah jawaban dari transportasi yang kami pilih untuk menuju Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Mahalnya tiket pesawat  kala itu memaksa kami mau gak mau, siap gak siap harus berlayar ke negeri Manado. Hikss..

Nah, bagi kalian yang mau traveling ala ‘mewah’ dan bukan ala kadarnya. Pesan saya satu. Sejak jauh hari sudah membooking tiket lebih dulu. Apalagi jika waktu keberangkatannya di musim liburan. Diharamkan bagi kalian membeli tiket pesawat sehari sebelum keberangkatan.

Mengingat perjalanan kali ini harus ditempuh dengan cara berlayar. Maka segala konsekuensi yang terjadi nantinya sudah bisa diterima dengan lapang dada. Termasuk konsekuensi di bawah ini.
******

Di KM Gunung Dempo, dengan sangat terpaksa kami harus “bertekak” dengan bapak-bapak berkumis yang berlogat Madura. Bapak-bapak ini seperti penguasanya KM Gunung Dempo. Kenapa penguasa? Bayangin aja, ia sendiri harus menguasai empat tempat tidur milik penumpang. Seolah-olah, bapak ini merasa badannya itu untuk ukuran empat orang penumpang. Padahal kalau dilihat-lihat, porsi badannya itu paling bantar untuk porsi dua orang. Gak kecil-kecil kali dan gak buncit-buncit kalilah. Tapi karena keserakahannya, ia tega membiarkan backpacker kece ini beserta tiga kurcacinya masih berdiri karena belum dapat tempat tidur.

Demi tempat tidur inilah kami harus rela “bertekak” dengan si bapak berkumis. Ini semua demi menegakan keadilan di KM Gunung Dempo dan satu lagi demi tidak tidur di lantai karena gak kebagian tempat tidur. Singkat cerita bertekak, berkat kerasnya logat Batak yang diandalkan kurcaci saya bermarga Harahap, akhirnya dua tempat tidur itu bisa kami dapatkan dari penjajah KM Gunung Dempo. Hahahahaha. “belum tau bapak ini kami anak Medan,” ucap saya dalam hati.





                            Tempat tidur yang menjadi rebutan. Padahal tak seberapa. Hehehehehe



Berhubung dua tempat tidur sudah aman. Tugas selanjutnya tinggal mencari dua tempat tidur berikutnya. Beruntunglah, usai “bertekak” dengan si kumis tadi, kami menemukan seorang Ibu berhati malaikat. Ibu ini bersama dua orang anaknya. Satu gadis cantik berjilbab dan satunya lagi lelaki keren yang tampangnya hanya beda 0,01 persen dengan tampang saya. Dengan suara lembutnya, Ibu ini menawarkan dua tempat tidurnya kepada kami. Alhamdulilah. Tuhan itu memang adil. Mungkin inilah yang dinamakan, orang baik ketemu dengan orang baik. Atau bisa jadi habis makhluk jahat, terbitlah makhluk baik. LOL.
Berkat tiga malaikat ini, kami gak jadi tidur di lantai.

                   Tiga malaikat Dempo, kurcaci bermarga Harahap dan saya (cari aja yang paling cakep)


Selain memberikan dua tempat tidur miliknya, Ibu ini juga memberikan bonus tambahan perharinya. Yang jelas bonusnya bukan 50 kali SMS gratis sesama tilkumsil atau 600 menit nelpon gratis sesama tilkumsil. Bonus yang diberikan Ibu ini hanya membantu menjaga ransel kami serta selalu menemani saya ambil sarapan pagi, makan siang, dan makan malam di dapur KM Gunung Dempo. Hmmmm..Benar-benar Ibu mertua idaman. Berbeda dengan Ibunya, kedua anaknya juga memberikan bonus kepada kami. Apa bonusnya? Zzzzzzzzz. Hanya Tuhan, mereka dan kamilah yang tau.......

Bersambung ke Part II .....................

Behind The Scene KM Gunung Dempo Part I


            Kurcaci Harahap kelelahan usai bertekak dengan si bapak berkumis berlogat Madura

Saat orang lagi ngobrol, kurcaci baju abu-abu itu malah asik mijitin kepalanya karena mabok laut, untuk bukan mabok duda. 









Senin, 25 November 2013

Ngeblog Lagi Yuks.....

Sebenarnya ini bukan kali pertama saya ngeblog. Dahulu, saat status masih mahasiswa S-1, saya sempat memiliki blog. Sayangnya, karena penyakit pelupa saya kembali kambuh, akhirnya blog yang lama tidak bisa terbuka kembali. Alasannya simpel. “Lupa pasword”.


Meskipun begitu, beruntunglah, karena sekarang saya sudah kembali move on dengan membuat blog yang baru ini. About Traveler. Nama blog baru ini saya temukan setelah dua tahun bangkit dari proses kelabilan. Sejak ngeblog 2010, saya masih binggung harus menentukan spesifikasi arah tulisan pada blog saya. Mudah-mudahan dengan nama blog baru ini, saya lebih terarah, khususnya dalam menentukan jati diri ataupun passion saya dalam dunia kepenulisan.


Nama blog ini saya buat karena kebetulan saya memiliki hobi melalak alias jalan-jalan. Betapa amat disayangkan, jika nantinya saya sampai Eropa, tapi perjalanan saya itu tidak diabadikan dalam bentuk tulisan. Nah, di blog inilah saya akan berbagi cerita soal perjalanan saya. Semuanya akan saya ceritakan, makanya nama blog ini adalah About Traveler. Mungkin saja perjalanan yang saya ceritakan nantinya bisa menjadi bahan panduan bagi pembaca yang mengunjungi blog ini. Apalagi untuk orang-orang yang memiliki hobi satu genre dengan saya.


Cerita lainnya kenapa blog baru ini juga muncul karena saya terinspirasi pada blog traveler yang paling ngehits sepanjang abad ini, The Naked Traveler. Jujur, setiap kali membaca tulisan Trinity diblognya itu membuat adrenalin dan nafsu saya menjadi naik. Bukan hanya nafsu, bulu roma dan bulu lainnya juga naik. (bulu kaki ya..). Gara-gara tulisan Trinity, setiap saat saya selalu ngelihatin kelender. Alasanya cuma satu, ngitungi jadwal cuti.


Waktu cuti itu adalah waktu yang paling berharga bagi seorang backpacker alias tukang melalak. Meskipun katanya cuti bisa ditukar dengan separuh gaji, tetap saja hal itu tidak mempan untuk kaki saya. Si kaki tetap saja mau melalak kemana-mana.  Dan andai saja, melalak itu tidak mempergunakan uang, bisa jadi prinsip “jangan gara-gara kerja, melalak terganggu” akan segara saya terapkan. Sayangnya setiap kali melalak, uang menjadi hal yang paling utama untuk melampiaskan hobi ini. Makanya kerja keras harus nomor satu agar hobi ini tetap berjalan sebagaimana mestinya. Hehehehhe...


Ini sekedar kata pengantar di blog baru saya ini. Hitung-hitung salam perkenalan kepada para pembaca nantinya. Oia, sedikit ketinggalan. Di blog ini, saya akan menceritakan hal-hal mulai dari yang tidak penting level 1 sampai hal-hal yang paling penting level 10 saat melakukan traveling. Dan tulisan yang di bawah ini merupakan hal yang tidak penting level 1. Maklum saja, tulisan di bawah ini diposting karena untuk coba-coba. Mengetest kemampuan saya apakah gagap teknologi atau tidak.